Kamis, 11 September 2008

Tentang Kabupaten Pegunungan Bintang


JANGAN heran kalau melihat bintang putih di atas Puncak Mandala. Bukan bintang jatuh, bukan pula benda langit lain yang jatuh. Benda yang menyerupai bintang itu adalah salju. Salju abadi menyelimuti gunung tertinggi di Kabupaten Pegunungan Bintang. Salju berbentuk bintang itulah yang menjadi asal mula nama kabupaten pecahan Kabupaten Jayawijaya ini.

SATU-satunya kabupaten di Pegunungan Jayawijaya yang berbatasan dengan negara Papua Niugini ini 90 persen wilayahnya terletak di dataran dengan ketinggian 400-4.000 meter di atas permukaan laut (dpl). Wilayah bertopografi bukit dan pegunungan ini ada di barat dan tengah dengan puncak tertinggi Puncak Mandala (4.700 meter). Sementara sisanya di utara dan selatan merupakan dataran rendah.

Hampir 40 tahun bergabung dengan kabupaten induk, Pegunungan Bintang tercatat sebagai kawasan tertinggal. Dari 128.209 jiwa penduduk (2003), 85 persen tergolong miskin. Dari segi pendidikan, penduduk yang buta aksara sekitar 47 persen. Bahkan, penduduk yang terkonsentrasi di lereng-lereng gunung dan lembah kurang mendapat sentuhan pelayanan dan pembinaan dari pusat pemerintahan kabupaten induk, Wamena. Wajar saja karena untuk menjangkau wilayah-wilayah di Pegunungan Bintang harus menempuh perjalanan sekitar 250-300 kilometer.

Jarak ratusan kilometer tersebut bisa saja dijangkau jika ada kemudahan sarana-prasarana transportasi dan telekomunikasi. Sayang, transportasi darat sama sekali tak menjangkau wilayah tersebut karena terhambat oleh faktor topografi pegunungan. Prasarana jalan hanya menghubungkan akses antarkampung di dalam distrik berupa jalan tanah. Bahkan, sebagian rusak, tertutup semak belukar. Satu-satunya yang bisa menyentuh adalah transportasi udara. Itu pun biayanya relatif mahal dan terbatas.

Begitu juga dengan telekomunikasi. Selama ini masih menggunakan single side band (SSB) milik beberapa instansi pemerintah dan misionaris. Penggunaan telepon seluler pun terbatas pada beberapa pejabat daerah. Namun, semua keterbatasan telekomunikasi mulai diatasi dengan kehadiran telepon pasang telepon sendiri (Pasti). Sedikit banyak jaringan telepon satelit ini mengatasi kesulitan berkomunikasi di Pegunungan Bintang meski penggunaannya terbatas pada beberapa rumah.

Hampir di setiap distrik terdapat lapangan terbang. Akan tetapi, hanya lapangan terbang di Oksibil dan Batom yang bisa didarati pesawat twin otter. Hubungan antardistrik dan wilayah luar kabupaten dilayani oleh pesawat twin otter dan Cessna milik Mission Aviation Fellowship (MAF) dan Aviation Mission Association (AMA). Biayanya relatif mahal, Rp 1,2 juta per orang. Selain itu, tidak ada jadwal yang pasti.

Sejak tahun 1980-an, Merpati Nusantara juga melayani transportasi di Pegunungan Bintang meski hanya melayani rute Jayapura-Oksibil dan Jayapura- Batom, setiap hari Sabtu dan Minggu. Biayanya relatif murah, sekitar Rp 135.000 dan Rp 150.000 per orang.

Memisahkan diri dari Jayawijaya sebenarnya merupakan peluang emas untuk membangun kabupaten di ujung timur Pegunungan Jayawijaya ini. Pertanian masih menjadi urat nadi kegiatan ekonomi. Tahun 2002 sektor tersebut memberikan kontribusi Rp 109 miliar, hampir 80 persen dari total kegiatan ekonomi. Sektor sekunder dan tersier belum menunjukkan prestasi.

Bahkan, pada produk domestik regional bruto (PDRB), angka sektor industri pengolahan serta listrik dan air minum masih nol. Kegiatan industri di Pegunungan Bintang masih belum ada. Ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang masih memanfaatkan sumber daya alam setempat. Lebih menyedihkan lagi jaringan listrik dan air bersih belum menjangkau kabupaten ini. Sumber listrik adalah disel, solar sel, dan aki yang kapasitas dan penggunaannya terbatas. Begitu juga air bersih yang masih menggunakan air hujan, sumur air dangkal, dan air sungai.

Pertanian tanaman pangan menjadi kegiatan utama penduduk kabupaten yang dihuni oleh suku Ngalum ini. Tahun 2002 sektor ini ikut menyumbang kegiatan ekonomi Rp 103 miliar dan mendominasi kegiatan pertanian. Hampir 100 persen penduduk bekerja di sektor ini. Sama dengan suku-suku lain di Papua. Suku Ngalum yang sebagian besar hidup di dataran tinggi mengonsumsi ubi-ubian sebagai makanan pokok. Biasanya ubi kayu, ubi jalar, dan keladi dibakar dan direbus. Kemudian daunnya direbus sebagai pelengkap makanan. Belum ada usaha mengolah hasil ubiubian menjadi komoditas perdagangan. Ke depan, dinas pertanian mengupayakan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar dan oralit (bahan pengganti cairan saat mencret) .

Tanaman ubi-ubian ini bisa dijadikan unggulan pertanian tanaman pangan mengingat produksi tanaman ini cukup banyak dan bisa digunakan oleh semua masyarakat. Pada tahun 2002, produksi ubi jalar, ubi kayu, dan keladi 103.858 ton. Ubi- ubian yang cukup dikenal adalah ubi jenis victory. Rasanya manis, kulit dalam dan luar cukup menarik dengan warna oranye, merah muda, dan ungu.

Meski belum ada tanaman pertanian yang diunggulkan, dinas pertanian sedang meneliti jenis-jenis tanaman yang cocok dan tepat ditanam di Pegunungan Bintang. Sebenarnya bukan ubi-ubian saja yang hidup di wilayah ini, tetapi juga kentang, kedelai, kacang-kacangan, kubis, wortel, sawi, bawang daun, sayur-sayuran, dan buah seperti jeruk, nanas, pisang, jambu biji, avokad, dan pepaya. Sayang, semua tanaman tersebut produksinya masih sangat terbatas dan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari penduduk setempat.

Tanaman perkebunan yang bisa dikembangkan adalah kopi yang dikembangkan pada lahan 429 hektar di semua distrik. Tahun 2002, produksinya 18,8 ton. Kopi yang dikembangkan adalah jenis kopi bio. Kopi yang bebas bahan kimia ini aromanya lebih tajam daripada kopi arabica dan rasanya lebih enak. Di beberapa negara Eropa, permintaan kopi bio cukup tinggi. Ini bisa dijadikan peluang untuk mengembangkan perkebunan kopi bio.

Potensi pertanian tersebut tidak akan berhasil dikembangkan jika masalah keterisolasian daerah tak segera dipecahkan. Memang, satu-satunya akses menuju distrik-distrik di Pegunungan Bintang hanya transportasi udara. Transportasi darat yang hanya bisa dikembangkan di utara dan selatan harus segera terwujud, seperti pembangunan jalan penghubung Oksibil-Iwur-Mindiptana-Waropko di Kabupaten Merauke.

Tahun anggaran 2004, agaknya prioritas pembangunan infrastruktur masyarakat belum sepenuhnya terlaksana. Bantuan dana dari Provinsi Papua berupa dana otonomi khusus Rp 13 miliar seluruhnya digunakan untuk membangun kantor bupati dan DPRD. Sementara dana alokasi khusus nonreboisasi dari pemerintah pusat digunakan untuk penyediaan sarana pemerintahan. Begitu juga dana alokasi umum yang dialokasikan untuk belanja rutin.

Rabu, 10 September 2008

Spesies Tikus Raksasa Ditemukan Di Papua


Anda takut dengan tikus got yang nyaris sebesar anak kucing? Bersiaplah terkaget-kaget jika melihat spesies tikus baru yang ditemukan di tanah Papua. Betapa tidak, ukurannya superjumbo. Jika dibandingkan dengan tikus got yang di kota-kota besar, tikus ini besarnya sekitar lima kali lipat!

Penemuan itu terjadi saat dilakukan ekspedisi oleh tim yang terdiri dari sejumlah ilmuwan dalam dan luar negeri di kawasan Pegunungan Foja, Papua. Tim itu dikomandani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Conversation International (CI). Selain menemukan tikus raksasa, mereka juga berhasil mengungkap sebuah mamalia baru sejenis tupai yang berukuran sangat kecil.

Uniknya, kedua mamalia itu, meski belum pernah bertemu dengan manusia, mereka sangat jinak dan tidak takut dengan manusia. Bahkan, sebagian binatang itu sering mendekati tenda peneliti yang sedang mengunjungi daerah itu. Bruce Beehler, salah satu yang terlibat dalam ekspedisi itu mengatakan bahwa penemuan itu sangat mengesankan, karena mereka menemukan puluhan jenis satwa yang baru bagi dunia sains dengan kenakearagaman hayati yang sangat kaya. Karena itu, ia menyebut bahwa kawasan tersebut layak dijuluki ’surga yang hilang’.

Ekspedisi itu sendiri sebenarnya adalah perjalanan kedua kalinya. Pertama pada tahun 2005 silam. Setelah perjalanan kedua pada 2007 ini, mereka juga sudah berencana untuk kembali mengarungi belantara Papua untuk melakukan sejumlah penelitian pada akhir 2008 atau awal 2009. Perjalanan itu akan melanjutkan survei untuk mencari katak, mamalia, kupu-kupu, dan tanaman dengan spesies baru.

Penemuan ini sekali lagi menjadi bukti betapa kayanya alam Indonesia. Tentu, harapan kita, hal ini justru memacu kita untuk melestarikannya, bukan justru mengeksplorasinya untuk kepentingan-kepentingan sepihak.

Mengapa Tentara Revolusi Papua Barat Harus Berpisah dari Organisasi Papua Merdeka?

Markas Pusat Pertahanan Komando Revolusi Tertinggi Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) dengan ini bermaksud menjelaskan satu dari berbagai perhitungan praktis langkah yang telah diambil Panglima Komando Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional (TPN atau TEPENAL di Markas Pusat Pertahanan pada November - Desember 2006: yaitu pemisahan organisasi sayap militer (TPN/TRPB) dari organisasi sayap politik (OPM). Sementara perhitungan strategis dan taktis tidak disampaikan kepada publik dalam media ini.

Secara praktis, setelah berbagai babak kebangkitan bangsa Papua dan perjuangan sejak 1960-an hingga kini telah terjadi berbagai peristiwa penting yang perlu dicatat oleh bangsa Papua dalam mengikuti sejarah tanah dan bangsanya. Bangsa Papua dan khususnya para pejuang kemerdekaan Papua Barat perlu juga mempejalari dan mengikuti dengan dekat segala perkembangan regional dan global, dalam perhitungan politik dalam memajukan aspirasinya. Khususnya kemenangan bangsa Melanesia di Timor Leste dan nasib bangsa di Nangroe Acheh Darussalam menjadi catatan penting bagi langkah perjuangan dan pembenahan organisasi perjuangan bangsa Papua
Papua Barat dan organisasi perjuangannya saat ini diperhadapkan kepada dua pilihan yang harus dan mau tak mau dihadapi dan diputuskan, karena pengkondisian ini telah dilakukan secara global untuk memaksa Indonesia dan Papua Barat mengambil sikap yang jelas dan tegas: Apakah Papua Barat harus diperjuangkan untuk berpisah dari NKRI ataukah lebih baik Papua Barat ada di dalam NKRI? Jawabannya jelas bervariasi, tergantung kepada keuntungan yang dapat diperoleh secara politik dan ekonomi bagi masing-masing pihak yang menjawabnya. Bagi bangsa Papua “M” adalah harga mati. Sementara bagi bangsa lain di dunia, “M” itu merupakan SALAH SATU dari pilihan yang ada, yang harus dipilih oleh bangsa Papua di hadapan NKRI.

Untuk melakukan pemilihan itu, tidaklah pernah dunia internasional secara seratus persen mendengarkan aspirasi bangsa yang memperjuangkan nasibnya untuk keluar dari penjajahan. Yang lazim terjadi adalah proses hitung-menghitung keuntungan bagi masing-masing pihak yang berkepentingan. Yang jelas sejumlah negara Barat sangat berkepentingan dengan Papua Barat di dalam NKRI. Bagi mereka, Papua Barat di dalam NKRI adalah syarat yang paling baik karena paling menguntungkan mereka secara ekonomi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan penderitaan, apalagi aspirasi bangsa Papua Apalagi bagi NKRI, kepentingan NKRI sama sekali tidak terkait dengan “siapa yang diuntungkan secara ekonomi dari pendudukannya di tanah Papua.” Baginya kebesaran wilayah pendudukannya adalah kunci kejayaan, tidak perduli nasib dan kondisi dari rakyat dan bangsa yang didudukinya itu, tidak ambil pusing dirinya sendiri melarat dan mengemis. Itu urusan nomor ke seratus. Urusan nomor satu ialah NKRI adalah harga mati. Ada SATU kesamaan antara sejumlah negara barat tadi dengan NKRI: yaitu: keduanya merasa beruntung kalau mempertahankan pendudukan NKRI di Papua Barat
Sementara itu, bangsa Papua juga telah menyatakan dengan jelas dan memperjuangkannya selama hampir setengah abad lamanya, bahwa Merdeka adalah Harga Mati! Kedua belah pihak telah mematok posisi dan sikap mereka sebagai harga mati.

Walaupun demikian, dalam politik modern, dan di antara bangsa-bangsa beradab, dan terutama sebagai sesama manusia yang berbeda pendapat, konflik haruslah diakhiri, pertumpahan darah hendaknya dihentikan. Dunia kita telah menjadi dunia yang ‘globalised’, yang tidak tertutup dan yang tidak terisolasi. Dunia kita saat ini menjadi dunia yang terbuka dan telanjang. Konflik NKRI-Papua Barat sudah menjadi agenda dan permainan sejumlah negara di dunia. Sebagai bangsa beradab, organisasi perjuangan bangsa Papua haruslah membenahi dan mempersiapkan diri untuk memasuki babak perjuangan yang baru dengan tantangan dan pendekatan yang baru pula, sejalan dengan perubahan geopolitik belakangan ini.

Kita berjalan ke Indonesia dalam kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dalam NKRI. Menjelang kemerdekaan bangsa Melanesia di Timor Leste ada sejumlah kunci yang dipakai waktu itu secara organisasi. Yang paling menonjol adalah penyatuan berbagai organisasi dan/atau faksi ke dalam satu front, United Front. Penyatuan itu menyulut dan mengobarkan api perjuangan bangsa Melanesia di Tomor Leste. Lalu kalau kita bandingkan dengan insiden di NAD, maka terlihat jelas justru penyatuan itu memaksa bangsa Acheh untuk harus bertekuk-lutut kepada penjajah NKRI untuk menerima Perjanjian Damai. Dalam kasus pertama, penyatuan menyulut dan menguatkan api perjuangan, dan yang kedua justru penyatuan itu memenjarakan dan menjerat aspirasi bangsa Acheh untuk harus berbelok arah dari perjuangan untuk memisahkan diri dari NKRI menjadi perjuangan untuk perbaikan dalam berbagai bidang di dalam konteks NKRI. Kalau kita pelajari secara saksama, keberhasilan/kegagalan keduanya tidak hanya ditentukan oleh bangsa yang berjuang untuk melepaskan diri dari NKRI, tetapi kunci permainan ada di tangan kepentingan-kepentingan di luar NKRI, penguasa Bumi ini.

Kini kita masuk ke tanah air. Papua Barat telah diberikan Paket Otonomi Khusus, sama dengan NAD, di mana ada sejumlah perlakuan dan pengaturan secara khusus diberuntukkan bagi kedua wilayah yang selama ini menuntut kemerdekaannya dari NKRI. Kekhususan di NAD ditekankan kepada aspek agama dan tradisi kehidupan beragama. Sementara kekhususan untuk Papua Barat lebih dititik-beratkan kepada kekhususan etnik dan ras (sosial-budaya).

Yang menjadi pertanyaan adalah “Mengapa ada otonomi yang khusus kepada kedua wilayah dan bangsa?” Padahal wilayah dan bangsa lain, yang secara kemanusiaan dan sebagai wilayah dan bangsa pendudukan NKRI yang sama kedudukannya hanya diberikan status Otonomi Daerah. Jawabannya jelas, kekhususan itu terkait dengan tuntutan kedua bangsa dan wilayah untuk memisahkan diri dari NKRI. Dengan kata lain, “Status Khusus” sangat dan langsung terkait dengan tuntutan kemerdekaan dan/atau memisahkan diri dari NKRI. Artinya, status khusus adalah jawaban politik untuk membatasi dan akhirnya menghentikan total tuntutan kemerdekaan dari kedua bangsa dan wilayah dimaksud. Dengan kata lain, status ini diberikan berdasarkan kebijakan politik global dan nasional NKRI dalam mempertahankan kedua bangsa dan wilayah tetapi di dalam NKRI.

Oleh karena itulah, maka selama ini bangsa Papua MENOLAK DENGAN TEGAS Otonomi Khusus NKRI di Papua Barat Penolakan itu jelas tidak diterima, dan ditolak tegas oleh NKRI dan masyarakat internasional-pun menonton apa kemauan NKRI lebih daripada aspirasi bangsa yang memperjuangkan nasibnya untuk keluar dari NKRI. Sama dengan perjalanan sejarah perjuangan bagsa Acheh, bangsa Papua kini sudah dalam perjalanan menuju kandang persembelihan, kandang di mana bangsa Papua dan organisasi perjuangan Papua Merdeka sedang digiring ke arah duduk bersama NKRI untuk berdialog.

Apa artinya berdialog? Berdialong artinya terjadi komunikasi dua arah antara dua belah pihak: dalam hal ini Papua Barat dan NKRI. Hasil dari dialog adalah menemukan titik temu, di mana kedua-duanya harus mengorbankan sejumlah perbedaan dan menerima sejumlah persamaan, walaupun pahit sekalipun. Semuanya dilakukan sebagai hasil dari Dialog, atas nama kemanusiaan, perdamaian dunia dan stabilitas keamanan kawasan.

Keberhasilan SBY-JK menyelesaikan konflik berkepanjangan di NAD jelas memberikan kredit point yang besar bagi pemerintahan yang sedang berjalan. Dunia Internasional malahan telah mengajukan SBY sebagai calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Melihat keberhasilan itu, Dunia Internasional sementara ini sedang mendesak NKRI memainkan kartu yang sama dalam mengakhiri konflik NKRI - Papua Barat
Untuk itu, NKRI, khususnya SBY-JK sedang mencari format yang tepatguna. Mereka menghendaki organisasi perjuangan bangsa Papua untuk duduk bersama NKRI dan berdialog. Dialog itu harus jalan. Untuk melayani kepentingan dunia internasional dan NKRI, maka bangsa Papua perlu bersiap dan berbebah diri. Akan tetapi, dengan melayani kepentingan itu, tentara Revolusi Papua Barat sebagai satu-satunya dan induk dari angkatan perlawanan bangsa Papua haruslah berbenah diri agar ia tidak terjebak ke dalam skenario “pengkandangan” atau “penjaringan” segenap kekuatan perjuangan seperti yang terjadi di berbagai tempat lain dan khususnya di NAD.

Selain itu kita perlu akui sebuah sejarah, dan fakta bahwa NKRI-lah yang memberi nama Papua Merdeka’>OPM sebagai signkatan Organisasi Papua Merdeka. (Silahkan rujuk ke berbagai buku sejarah Papua Merdeka’>OPM dan akan Anda temukan bahwa nama “OPM” pada awalnya bukanlah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka.) Setelah itu, begitu TPN/TEPENAL dibentuk dan berkiprah dalam perjuangan bangsa Papua melawan penjajahan, maka NKRI pula-lah yang memberikan nama Papua MErdeka’>TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka). Memang nama singkatan Papua Merdeka’>OPM dan TPN adalah buatan orang Papua tetapi kepanjangan dari nama Papua Merdeka’>OPM dan penempelan nama TPN dengan Papua Merdeka’>OPM menjadi Papua MErdeka’>TPN/OPM adalah bentukan NKRI. Sebuah nama yang aneh tapi nyata. Mengapa nama Papua Merdeka’>OPM ditempelkan ketat dengan TPN Alasan praktis yang jelas, ini merupakan tindakan taktis yang jelas dipermainkan oleh NKRI untuk menyudutkan Papua Merdeka’>OPM sebagai sebuah organisasi bersenjata. Papua Merdeka’>OPM sebagai organisasi bersenjata berarti ia tidak layak dan dilarang berpolitik di pentas politik dunia. Makanya baru-baru ini, Kapolda Papua mengatakan, seperti dikutip Cenderawasih Pos, “Kapolda: Separatis Berpolitik Berbahaya.” Dengan kata lain, “Lebih baik kalau separatis tidak berpolitik alias berbicara dengan perjuagnan bersenjata”. Dengan kata lain, “Lebih baik Papua Merdeka’>OPM ditempelkan ke TPN daripada Papua Merdeka’>OPM berpolitik.”

Setiap perjuangan di muka bumi memang harus memiliki organisasi sayap politik dan sayap militer. Akan tetapi kedua sayap tidak dapat disebut dengan istilah “ATAU” di antara nama mereka, tidak dapat menggunakan tanda strep (/) dalam menyebut nama sayap politik dan sayap militer. Maka organisasi perjuangan bangsa Papua bukanlah TPN strep (/) Papua Merdeka’>OPM Secara gramatikal, istilah TPN strep (/) Papua Merdeka’>OPM artinya TPN atau Papua Merdeka’>OPM artinya TPN atau bisa juga disebut Papua Merdeka’>OPM Dalam penamaan oleh NKRI ini, organisasi sayap militer dan sayap politik menjadi sama saja, bukan berbeda. Akibatnya kedua angkatan ditempelkan sebagai organisasi bersenjata, keduanya mendukung kekerasan di Tanah Papua Itu artinya keduanya tidak dapat berpolitik di pentas politik global. Tidak pelak lagi, dalam banyak buku dan situs intelijen dunia, Papua Merdeka’>OPM selalu ditempatkan sebagai organisasi yang mendukung kekerasan di Asia-Pasifik, yang harus diwaspadai oleh kekuatan-kekuatan modern yang menyukai kemapanan kondisi geopolitik dan stabilitas keamanan kawasan.

Melihat perkembangan dan gelagat seperti inilah, maka ada keputusan sebagai hasil dari serangkaian rapat konsolidasi dan reorganisasi angkatan bersenjata perlawanan rakyat Papua di seluruh tanah air selama tahun 2001-2006. Hasil konsolidasi itu jelas menununjukkan perlu ada tindakan untuk membantu Papua Merdeka’>OPM dalam kiprah politiknya di dunia, dalam melakukan lobi dan dialog dengan berbagai pihak. Organisasi Politik haruslah dibebaskan untuk berkiprah secara bebas dan aktiv dalam berbagai tingkatan dan pendekatan serta lobi-lobi politik untuk kepentingan bangsa Papua Untuk itu maka dipandang perlu ada sebuah keputusan resmi dari kedua Organisasi untuk menentukan langkah ke depan. Maka telah dilakukan sebuah Kongres Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pada 26 November - 3 Desember 2006. Keputusan Kongres Nomor 01 menyatakan sebuah deklarasi bahwa secara resmi Tentara Revolusi Papua Barat memisahkan diri dari Organisasi Papua Merdeka.

Sebagai tindak lanjut daripada itu, maka telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang menghadirkan berbagai pihak dan organisasi dari Papua Barat di Republik Vanuatu awal tahun 2007. Rapat ini memutuskan membentuk sebuah Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat Koalisi ini dimotori oleh Papua Merdeka’>OPM sebagai wadah politik untuk memainkan perannya di pentas politik global. Menurut skenario yang dibangun TPN (sebelum berubah menjadi Papua Barat’>TRPB sejauh ini, maka sudah jelas bahwa perjuangan bangsa Papua kini telah memasuki babak baru dalam sejarahnya, yaitu sebuah organisasi sayap militer dengan konsolidasi dan reorganisasi yang penuh dan organisasi sayap politik dengan sebuah koalisi hasil konsolidasi yang memiliki kekuatan untuk melakukan tugas-tugas politik dan diplomasi.

Sekarang tiba pada giliran bangsa dan rakyat Papua di manapun Anda berada, untuk merapihkan barisan dan mendukung segala kebijakan yang diambil para pejuang bangsa Papua baik di sayap politik ataupun sayap militer. Sementara bergelut dengan NKRI dalam politik otonomisasinya, hendaknya bangsa Papua tidak melupakan bahwa Papua Barat’>TRPB dan Papua Merdeka’>OPM membutuhkan uluran tangan Anda, tenaga Anda dan dukungan Anda secara moril dan dalam doa.

Penjelasan resmi dari Mabes Pertahanan
Komando Revolusi Tertinggi Papua Barat’>TRPB

“1 JULI” KEBANGKITAN NASIONAL BANGSA PAPUA BARAT

Tanah Papua 21 Juni 2008-Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat tidak hanya berada dalam histories gerakan rakyat yang stagnan. Terhitung 1 Juli sejak tahun 1965 Lahirlah Organisasi Papua Merdeka yang di deklarasikan di Wilayah Kepala Burung. Penyebaran Firus Papua Merdeka’>OPM kemudian menyebar hingga sekarang menancapkan semangat kemerdekaan 1961 di seantero Bumi Papua yaitu Bagian Barat pulau yang sering di sebut bumi Cenderawasih.

Dinamika semangat pembebasan nasional Papua Barat tak bisa lepas dari garis pembebasan nasional yang telah di lakukan secara defakto. Pengakuan Negara Papua Barat secara sepihak oleh Bangsa Papua Barat pada 1 Desember 1961 hingga proses pencaplokan Tanah Papua melalui rekayasa Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) rahun 1969 tidak memudarkan semangat perjuangan Bangsa Papua guna pengembalian Negara-Nya.

Ketika Rezim Kolonialisme Indonesia memvonis keberpihakan sepihak bahwa Papua secara sah berada dalam wilayah NKRI sejak PEPERA 69 bukanlah sebuah solutif bagi usaha penyelesian Masalah di Tanah Papua Tetapi Deklarasi 1 Juli tahun 1977 di Markas Besar Vicktoria ( Marvick ) oleh Yakop Prai Cs, sebagai bukti kuat bahwa perjuangan Papua Merdeka’>OPM sejak tahun 1965 terus bangkit.

Sekilas perjuangan Papua Merdeka’>OPM sampai sekarang mudah dijalankan oleh generasi Papua dan tidak sulit pula berbicara seputar Papua Merdeka di-era sekarang dibanding masa lampau dimana perjuangan masih dilakukan oleh sedikit kaum terpelajar di massa itu. Orang Papua kini memikul tantangan berlapis dalam usaha pengembalian Negara berdaulat yang telah berhasil dideklarasikan tahun 1961.

Periodesasi jajahan sejak proses pengakuan secara sepihak ( defacto ) oleh Bangsa Papua Barat mendapat tantangan luar biasa guna perjuangan untuk mendapat dukungan Negara-negara lainnya di dunia. Ekspansi Militer dalam perebutan Papua 1 Mei 1963 memuncak kemudian di selenggarakannya PEPERA 1969 mendapat tuntutan dan penolakan dari pejuang Papua Merdeka. Rekayasan jajahan kemudian menuai proses benturan ( kontradiksi ) baru atas jajahan di Papua Hasil yang didapat dari Integrasi dan PEPERA adalah ditetapkannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer “DOM” hingga berakhir pada tahun 1998. Kentalnya aspirasi Papua merdeka ketika dua kontradiksi penjajahan atas Tanah Papua tidak mampu menumpas akar kedaulatan Papua Merdeka, dunia kemudian menghalalkan solusi OTSUS “Otonomi Khusus” bagi Papua Perjalanan otsus selang delapan tahun kini menuai harapan tidak ada perubahan dari peradaban koloni semula. Watak jajahan terus jajah Papua dengan bedil Otsus. Gerakan pembunuh Nasionalisme Papua Merdeka menjadi temperature bahkan tameng otsus menjadi instrument baru bagi terbukanya wilayah jajahan baru, baik dalam alam ekplorasi kekayaan Alam Papua politik Pecah belah dalam payung Pemekaran Wilayah semakin santer dicanangkan di Bumi Papua Memang konyol bagi Indonesia, dimana Negara sehebat Indonesia yang sejak reformasi tahun 1998 sudah mendapat julukan bahwa tidak ada lagi cara-cara jajahan atas bangsa lain sejak reformasi lahir. Kenyataan di Papua justeru memalukan Negara Indonesia .

Ruang Otsus yang identik dengan benturan jajahan atas Papua merdeka tak bisa menembus peningkatan rasa nasionalisme Indonesia atas orang Papua Tetapi “pengikisan nasionalisme” terjadi di belahan Indonesia dengan sentimen kedaerahan sesuai amanat Otonomi Daerah. Keinginan Kedaerahan yang cukup tinggi, Papua kemudian berbalik arah, etnisitas meningkat menyambungkan dengan keinginan Papua Lepas tak bisa di hindari.

Inilah kenyataan sekarang dimana gerakan Papua Merdeka yang dikategorikan dalam Organisasi Papua Merdeka mulai meluas di berbagai belahan dunia. Papua Merdeka’>OPM semakin sulit dibasmi oleh kaum penjajah. Dimana perjuangan Papua Merdeka’>OPM cenderung disalah tafsirkan secara sempit oleh sebagian kalangan yang anti Papua Merdeka. Gerakan Adat yang tumbuh subur dan dibesarkan dalam ruang Otsus selalu dicap sebagai Separatis. Tidak hanya masyarakat adat yang selalu menentang penjajah dicap sebagai pembangkang Negara, tetapi kalangan pemerhati masalah Papua mendapat sorotan tajam pula.

Keadilan itu harus terwujud. Inilah nafas bagi gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat yang telah bangkit sejak 1 Juli Tahun 1965 di kepala burung, berlanjut spirit baru dalam deklarasi perjuangan Papua di Markas Arso Kabupaten Keerom Sekarang pada 1 Juli tahun 1977 dan Lembah Baliem tahun 1977. Gerakan Papua merdeka ( Papua Merdeka’>OPM semakin dewasa dalam menempuh hiruk pikuk nafas mempertahankan Negara. Bagi Papua Merdeka’>OPM semangat mengembalikan Negara Papua sudah final diperjuangkan hingga mendapatkan-Nya kembali.

Penanganan Masalah Papua bagi Indonesia masih ada nafas selama 17 tahun kedepan yaitu sampai tahun 2025 saat dimana solusi otsus Bagi Papua berakhir. Pembangunan nasionalisme dan ketahanan bangsa dimaksud belum tentu berhasil dilakukan dalam jangka waktu 17tahun. Ini namanya “MIMPI di Siang Bolong”. Mari belajar berdemokrasi yang canggih sebab keadilan bagi segenap Bangsa tugas pokok setiap manusia hidup, bangsa beradap dan tugas rakyat semesta.

Dengan demikian, mulai sejak tanggal 1 Juli 2008 sebagai lanjutan semangat nasional gerakan Papua Merdeka, Gelora Hari Kebangkitan Nasional Papua Barat diselenggarakan di Tanah Papua Barat Pelosok Belantara Rimba Raya, Pegunungan, dan Pesisir Tanah Papua bergelora mengangkat keatas suatu semangat KEBANGKITAN NASIONAL bagi usaha menuju pengembalian Negara Papua Barat yang tentunya Merdeka dalam segala kebutuhannya baik Politik-Ekonomi dan Kebudayaan. # EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT #

Papua Merdeka: Antara Perspektif gerakan Prodem NKRI - Papua Barat dan Momentum Yang harus disikapi oleh Pejuang Papua


saat-saat inii, kondisi riil di Indonesia dimana militerisme bangkit kembali dapat menimbulkan reaksi, baik itu NGO, mahasiswa dan elemen Demokratik Indonesia kembali berteriak menentang segala bentuk yang militeristik.

Ada tiga agenda yang di usung yaitu;

1. Militerisme;,( Watak penindas/ruang demokratik tertutup)
2. Orbaisme, dan; (yang menopang militer untuk tetap kuat)
3. Neoliberalisme;.(Papua masuk NKRI karena perjanjian kontrak karya Freeport)

Alasannya ketiga aspek ini telah menghambat ruang demokrasi yang selama ini di perjuangkannya.

Pertanyaanya?

Kondisi Indonesia hari ini mampu kita manfaatkan dalam perjuangan Papua Atau karena itu urusan Prodem NKRI jadi kita (khususnya pejuang Papua tinggal diam saja!!

Saya mau katakana bahwa; momentum ini harus kita ambil dengan strategi yang bukan taktis, namun kontinyu. Untuk itu penyatuan gerakan Papua sangat pass dan konkrit untuk perjuangan Papua hari ini yaitu; bersama kelompok elemen lain untuk menyuarakan segala bentuk penindasan seperti yang telah saya katakan diatas. Sudah saatnya kita tidak menutup diri, tetapi harus membuka diri dan menjelaskan persoalan riil yang dihadapi bangsa Papua Barat

Ingat!!
Mengapa persoalan Papua belum meluas dan diteriakan oleh gerakan Prodemokratik Indonesia?

Persoalannya adalah kitalah yang tidak dapat menjelaskannya kepada mereka tentang persoalan kami.

Saya dapat katakana bahwa fragmentasi gerakan pembebasan Papua Barat hari ini terjadi karena kita sudah terjerumus dalam karakteristik gerakan NKRI yang notabenenya carut marut.
Artinya ketika ada persoalan konkrit di depan mata kita, masing-masing elemen selalu menutup diri, diskusi satu tahun; tindakannya satu hari.

Kita tidak sama dengan mereka. Pemikiran dan tindakan orang Papua itu selalu tepat sasaran, maka kita janganlah terjebak dengan karakteristik kaum Prodem NKRI yang saya sebutkan diatas.

Tetapi hari ini membuka diri dan menjelaskan persolan Papua kepada mereka adalah wujud dukungan dan menggemanya persoalan Papua di Indonesia sendiri.

Antara Tanggapan Dunia dan Reaksi NKRI menyangkut Papua Barat

Sesuatu yang mengejutkan dan ditolak mentah-mentah oleh NKRI, terhadap permintaan “TANPA SYARAT” dan “SEKERA” (immediate and unconditional) untuk pembebasan Yusak Pakage dan Phillip Karma dari LP Abepura, sebagai TAPOL/NAPOL yang ditahan hanya karena mengibarkan Bintang Kejora.

Yang perlu dicatat adalah “Mengapa sebuah Kongres dari Negara lain bisa menulis surat kepada wakil rakyat dari Negara lain masalah Papua Barat?” Apa artinya? Apa maknanya bagi perjuangan Papua Merdeka?

Memang, ada debat bahwa “Surat Perintah” memang demikian isinya, bukan surat permohonan, memerintahkan pembebasan kedua NAPOL segera dan tanpa syarat ini dikeluarkan sebatas menyangkut HAM karena alasan penahanan mereka hanyalah mengibarkan Bendera Bintang Kejora, yang menurut UU Otsus No. 21/2001 adalah sebuah Bendera yang diakui NKRI sebagai lambang daerah dan ras/bangsa Papua Sama saja dengan nama West Papua (Papua Barat) dulunya disebut Irian Barat, lalu diganti Irian Jaya kemudian Papua dan Irian Jaya Barat, walaupun kalangan nasionalis Papua memandangnya sebagai sebuah politik tambal-sulam yang cukup menguras tenaga, pikiran, waktu dan dana orang Indonesia, semua perubahan ini terjadi karena ada ‘pengakuan’ dari NKRI dengan nama-nama itu. Sama halnya pula, NKRI juga mengakui bahwa Bintang Kejora adalah lambang daerah, lambang kultural bangsa Papua Sama saja dengan dari dulu dan hingga sekarang Pulau New Guiena bagian Barat ini selalu disebut West Papua (Papua Barat), tetapi NKRI menyebutnya Irian Barat, Irian Jaya dan kini Papua dan Irian Jaya Barat. Bagaimanapun pandangan dan sebutan orang Papua NKRI tetap pada pendirian dan keputusannya.

Nah, kalau begitu, mengapa NKRI tidak dapat bertahan pada pendiriannya bahwa Bintang Kejora adalah Lambang Kultural bangsa Papua
Itulah alasan mengapa Kongres Amerika Serikat mengajukan Surat Perintah dimaksud.

Memang ada tuduhan dari pihak NKRI bahwa AS memainkan peran double-standards, tetapi bukan begitu. Yang terjadi adalah bahwa keberhasilan lobi politik dan diplomasi para pejuang Papua Merdeka dan pejuang mereka membawa isu HAM manusia Papua sudah mengglobal dan tidak dapat ditutup begitu saja. Begitu peristiwa terjadi, sudah ada tanggapan dan sorotan dari dunia internasional, pada detik dan menit yang sama pula. Belum sampai media di Indonesia menyiarkan/ mempublikasikannya, sumber berita Papua Merdeka seperti PapuaPost.com dan Infopapua.org serta berbagai situs lainnya sudah menyiarkan berita-berita langsung, lengkap dengan gambar/ foto-foto.

Itu sebuah keberhasilan dan kemajuan perjuangan Papua Merdeka yang patut disyukuri bangsa Papua
Mengapa sebuah parlemen negara lain berani memerintahkan presiden negara lain yang dihukum menurut hukum negara lain itu sendiri?

Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh orang Papua semua. Pertanyaan lanjutannya adalah: “Apa yang bakalan terjadi kalau…..????”

Yang jelas selama ini bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia merasa heran dan bingung dan bertanya, “APAKAH ORANG PAPUA BENAR-BENAR MAU MERDEKA, mendirikan negara di luar NKRI?” Dan para lobbyist dan diplomat Papua Merdeka selalu menjawab, “Ya, sebagian besar orang Papua mau Merdeka!” Tanggapan positiv dan dukunganpun berdatangan. Tetatapi tanggapan (umpan) balik dari bangsa Papua di Tanah Papua sendiri menjadi tidak begitu jelas: APAKAH ORANG PAPUA MAU MERDEKA??

Pertanyaan berlanjut:
1. Apakah orang Papua hanya sanggup menaikkan bendera dan ditangkap, dan membekam di penjara saja?
2. Sampai di situ sajakah kesanggupan orang Papua untuk menunjukkan mereka mau merdeka?
3. Apakah menaikkan bendera secara tiba-tiba, lalu menghilang seolah-olah tidak tahu apa-apa itu merupakan cara tepat untuk menunjukkan, “Ya bangsa Papua Mau Merdeka?”
4. Apa yang bakalan terjadi kalau terjadi kerisuhan atau keributan atau boikot Pemilu 2009 atau mogok masal atau perang melawan NKRI dalam waktu seminggu saja? Apakah dunia akan diam?

???